
Hehe, wah rupanya tudingan bahwa saya menghina ulama sekelas
KH Ma'ruf Amin sudah sedemikian viral. Okelah, saya datang Purwakarta, sekalian
kangen ma sate Maranggi Purwakarta yang terkenal itu.
Di Purwakarta, saya dipertemukan dengan KH Ma'ruf Amin Rais
Aam PBNU sekaligus ketua MUI itu. Tidak ada pembicaraan khusus kecuali
statement bahwa untuk pilkada DKI putaran kedua ini, beliau tidak memihak
siapa-siapa. Clear sudah, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi.
Tapi bukan itu yang akhirnya menarik perhatian saya. Yang
menarik sebenarnya adalah acaranya sendiri.
Kang Dedi Mulyadi ternyata ingin
memperkenalkan program de-radikalisasi terbarunya.
Program ini menargetkan siswa mulai SD kelas 6, SMP dan SMA,
terutama mereka yang beragama Islam. Kang Dedi mewajibkan seluruh siswa yang
beragama Islam di Purwakarta untuk mengaji kitab kuning di sekolah.
"Apa sih kitab kuning itu ?" Tanya saya.
Kitab kuning itu ternyata adalah kitab yang berisi tafsiran
konstektual terhadap Alquran dan hadis. Isinya berbagai macam tafsiran dengan
berbagai macam pendapat ulama.
Kenapa harus mengaji kitab kuning? Supaya siswa terbiasa
dengan berbagai macam pendapat dan tafsiran. Dengan begitu mereka tidak
terjebak fanatisme dan kebodohan akibat terlalu tekstual.
Ah, saya terduduk dan berfikir. Inilah yang seharusnya sejak
dulu dilakukan. Bahwa perbedaan pendapat dalam penafsiran kitab adalah hal
biasa, bukan kemudian dijadikan senjata untuk mengkafir-kafirkan.
Dan ini adalah tradisi NU yang dilestarikan dan dipakai Kang
Dedi dalam melawan intoleransi di Purwakarta. Jadi bukan hanya aktif membangun
rumah ibadah dari agama yang berbeda, tetapi juga masuk ke akar masalah
pemahaman agama.
"Kenapa program mengaji kitab kuning ini wajib untuk
siswa beragama Islam ?" Tanya saya lagi.
Ternyata Kang Dedi Mulyadi sudah berfikir 20 tahun ke depan.
Ia mencetak generasi masa depan yang toleran, yang terbiasa berbeda pendapat
dan tidak menjadi umat yang fanatik dengan pemahaman yang salah.
Saya semakin tertarik dengan sosoknya. Ia ternyata kaya akan
gagasan, hal yang banyak hilang dari pemimpin daerah di Indonesia yang terjebak
di pencitraan. Asal bangun banyak rumah ibadah untuk menarik perhatian, tapi
lupa akar masalah yang utama.
Saya senyum dan membayangkan jika program ini dikembangkan
ke seluruh Jawa Barat, provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi di
Indonesia. Bisa jadi Jabar akan membalikkan posisinya dalam sekian tahun ke
depan menjadi provinsi dengan tingkat toleransi yang tinggi di Indonesia. Kang Dedi musyrik? Ah masaaaa.
"Gak mencalonkan diri jadi Gubernur Jabar aja, kang?" Tanya saya dengan
senyum nakal. Kang Dedi ketawa. Sayangnya tidak ada kopi di depan. Ah,
kecutttt rasanyahhh..