Presiden Jokowi |
Menghadapi Freeport itu sungguh
bukan perkara mudah. Meskipun nilai kapitalisasinya tidak besar, tapi kukunya
sudah begitu dalam menancap di daging Indonesia. Freeport juga menjadi bagian
dari sejarah hubungan kuat Indonesia dan Amerika.
Permasalahan terbesar dari kasus
merebut kembali Freeport adalah peran kuat para mafia yang berasal dari bangsa
sendiri yang sekian lama mengecap pundi-pundi manis dari mereka.
Jadi ini sebenarnya bukan lagi
pemerintah melawan asing, tetapi juga melawan bangsa sendiri. Mirip dengan
kasus Petral, dimana akhirnya pemerintah harus berhadapan dengan bangsa
sendiri.
Pasal-pasal dalam Kontrak Karya
yang menganak-emaskan Freeport dibuat dengan persetujuan bangsa sendiri. Begitu
juga dengan peraturan pemerintah terdahulu yang dibuat tumpang tindih, sehingga
menguntungkan posisi Freeport ketika mereka berbicara dalam wilayah hukum.
Karena itulah Jokowi merapatkan
barisannya, para menteri-menterinya yang juga panglima perangnya. Konsolidasi
antara Jonan Menteri ESDM dan Sri Mulyani Menteri Keuangan semakin rapat,
karena pemerintabhatus menguasai segala aspek hukum dan keuangan.
Begitu juga Menko Maritim Luhut
Panjaitan ikut bersuara keras mendukung langkah pemerintah membawa kasus ini ke
arbitrase.
Rapatnya barisan ini juga
dilakukan dengan koordinasi TNI dan Polri. Diluar itu, ada ormas besar Islam
Nahdlatul Ulama yang menyatakan dengan jelas berada di belakang pemerintah.
Jadi kita akhirnya paham, kenapa
Jokowi memprioritaskan untuk membangun Papua dengan investasi besar-besaran di
bidang infrastruktur. Investasi ini sangat penting untuk menghadapi situasi
seperti ini. Papua harus siap, harus maju, harus sejahtera supaya tidak mudah
di provokasi untuk merdeka.
Jokowi sudah menyiapkan medan
peperangan sejak awal..
Apakah selesai?
Belum. Ini baru permulaan.
Siap-siap kita diguncang isu bahwa China akan masuk Freeport untuk memanaskan
isu anti cina yang sudah beredar.
Sepertinya harus seruput kopi
dulu sambil mengamati perkembangan yang terjadi.
Angkat cangkirnya..