Menteri ESDM - Jonan |
Salah satu keberhasilan Freeport
adalah membangun mitosnya. Mitos Freeport banyak diciptakan oleh
hembusan-hembusan baik melalui tulisan maupun perkataan-perkataan pejabat,
bahwa Freeport itu singa besar yang jika ditendang keluar akan membuat negara
ini goyang.
Sejak dulu kita gentar ketika
mendengar Freeport dan sejarah-sejarahnya. Dan ketakutan yang tidak beralasan
"kalau Freeport diusir, maka negara akan chaos karena Freeport adalah
sumber pendapatan besar buat Amerika. Apalagi karena dibawah emas ada cadangan
uranium yang naudzubillah besarnya".
Berapa sebenarnya nilai "si
raja hutan" itu?
Ternyata Freeport adalah
perusahaan yang gada apa-apanya. Setidaknya dibandingkan perusahaan yang
benar-benar raksasa.
Nilai jual Freeport ternyata
tercatat hanya 19 miliar dollar. Bandingkan dengan Exxon yang nilainya mencapai
355 miliiar dollar dan Chevron 250 milliar dollar. Mak.. jauh kali pun kau,
tulang.
Freeport hanya beti - beda tipis
-ma BCA, Telkom dan BRI yang rata-rata nilai jualnya 20-25 miliar dollar US.
"Exxon aja yang memasok seperempat kebutuhan nasional, gak rewel. Chevron
dan Newmont juga.. " sindir Menteri Jonan. Dalam arti sederhana,
"Miskin aja banyak lagunya..".
Pendapatan yang dilaporkan
Freeport ke Indonesia ternyata cuman 8 triliun per tahun. Bandingkan dengan
Telkom yang memberikan pendapatan 20 triliun rupiah pertahun. Freeport harusnya
lebih malu lagi kalau tau pendapatan yang disetor dari cukai rokok saja 139
triliun per tahun. Atau mau dibandingin ma
pendapatan yang disetor TKI? 144 triliun per tahun, port.
Karena akhirnya tahu bahwa
Freeport itu sebenarnya kucing yang bertopeng singa-lah, Menteri Jonan tetap
pada langkahnya bahwa Freeport harus tunduk pada pemerintah Indonesia.
Masak beruang takut ma kucing?
Pantas saja Jonan santai
menghadapi Freeport. "Kalau mau tarung di ring arbitrase, ayuk.. jangan
cuma koar-koar di media, pake ngancam-ngancam mau pecat karyawan segala.."
Meski santai, Jonan tetap waspada
menghadapi segala kemungkinan yang terburuk. Freeport biar bagaimanapun adalah
simbol Amerika di Indonesia. Dan Amerika "si pahlawan HAM", biasanya
akan membela perusahaan mereka yang merasa tertindas.
Karena itulah Jonan bertemu dengan
Kyai Said Agil Siradj di markas PBNU untuk berjaga-jaga seandainya Freeport
memainkan isu provokasi di Indonesia. Dan NU berkomitmen penuh untuk menjaga
Indonesia dan mendukung pemerintah untuk tarung di arbitrase melawan Freeport.
Yang dimaui pemerintah sederhana
aja sebenarnya. Kita tidak ingin main kasar dengan konsep nasionalisasi aset
asing seperti yang pernah terjadi di Venezuela pada masa almarhum Hugo Chavez
berkuasa.
Indonesia ingin tetap menjadi
mitra, tapi tunduk dulu pada peraturan kita dan beri peluang untuk kita
menguasai mayoritas saham Freeport. Dengan begitu, kita akan menjadi tuan rumah
di negeri sendiri, bukannya malah jadi tamunya Freeport.
Inilah yang dinamakan kedaulatan.
Dan Jonan berkata tegas, "Saya tidak akan mundur sejengkalpun dari
sini..". Freeport ternganga, "Wah kok gak kayak pejabat yang
dulu-dulu ya, kasih duit habis perkara.."
Akhirnya salah satu isu yang juga
ditebar adalah bahwa jika Amerika hengkang dari Freeport, maka China akan
menguasai. Ini menjadi makanan empuk warga bumi datar yang haus onani dan belum
ejakulasi. Strategi isu ini ingin mengulang peristiwa 1965..
Padahal kalau mereka mau banyak
baca buku, bahwa banyak syarat sebelum akhirnya harus bekerjasama dengan negara
asing. Penguasaan sumber daya alam harus ditawarkan dulu kepada penerintah,
jika tidak mampu ke BUMN, lalu BUMD, lalu jika masih belum mampu juga tawarkan
ke swasta nasional dan seterusnya..
Ahh... kejauhan kalau warga bumi
datar disuruh baca buku karena mereka jenis spesies pembaca judul.
Mending suruh baca UUD 45 ajah,
Pasal 33 ayat 3, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat". Silahkan dimakan cangkirnya ya,
sesudah saya seruput kopinya.