Jonan dan Archandra Tahar |
Siapa orang di Indonesia ini yang
tidak kenal Freeport? Freeport tumbuh dengan mitosnya. Namanya seagung Goliat
yang ditakuti bangsa Israel. Begitu banyak informasi yang membuat Freeport
menjadi lebih besar dari ukurannya sendiri.
Dan mitos itu terus dijaga untuk
kelangsungan banyak hal, mulai dari "rejeki" para pejabat lokal yang
mendapat setoran setiap tahunnya sampai ke nama besar Amerika sebagai negara
adidaya.
Dan itu berlangsung selama 50
tahun, sampai pemerintahan Jokowi berdiri. Freeport mendapat banyak fasilitas
melalui Kontrak Karya-nya sejak 1967. Kontrak Karya ini yang membuat Freeport
bisa menguasai segala lini pertambangan di dalamnya tanpa perlu melakukan
klarifikasi konkrit kepada pemerintah Indonesia.
Sekian lama pejabat kita diatur
olehnya. Freeport juga membayar para analisis yang membangun persepsi kita akan
kebesarannya dan merendahkan kemampuan kita untuk mengambil alihnya. "Udah
diem aja, yang penting elu dapat bagian.." begitu kira-kira poinnya.
Dan Freeport juga menjaga dirinya
juga melalui pasal-pasal dalam Kontrak Karya yang menguntungkannya. Pasal yang
dibangun bersama para pengacara dan pejabat lokal yang dibayarnya. Pasal-pasal
inilah yang menjaganya dari kemungkinan ia dimiliki secara maksimal oleh
pemerintah Indonesia.
Selain itu, Freeport juga sangat
diuntungkan dengan peraturan pemerintah yang tumpang tindih terhadap usaha
pertambangan. Dan karena peraturan di kita juga yang tidak kalah
"sesatnya", maka Freeport bisa berdalih untuk kembali pada pasal di
Kontrak Karya bahwa "Freeport akan tunduk pada peraturan yang memudahkan
dan menguntungkan mereka".
Dahsyat bukan?
Jadi kita harus paham bagaimana
pusingnya Menteri Jonan dan Wamen Arcandra Tahar untuk menguliti satu persatu
pasal, baik dalam Kontrak Karya maupun peraturan tumpang tindih yang dibuat
pemerintah pada masanya.
Meski begitu, para punggawa
Jokowi ini tidak menyerah. Mereka terus mendesak Freeport untuk mematuhi
peraturan yang ada, yang menguntungkan pemerintah.
Kalau sudah terdesak begini,
jurus lama Freeport keluar, yaitu ancaman. "Kami akan memecat ribuan
karyawan karena kami tidak sudah tidak mampu lagi produksi.." Jurus
andalan yang sangat kita kenal, yaitu terzolimi. Bahasa Suroboyonya
"Playing Victim".
Sebenarnya pemerintah kita sudah
baik sebaik-baiknya. "Okelah, daripada tidak produksi bagaimana kalau kita
perpanjang sedikit kemudahan supaya Freeport bisa produksi dan ekspor konsetrat
?" Tapi dengan catatan bahwa Freeport harus mulai bangun smelter.
Dan lagi-lagi Freeport tidak
tunduk, hanya "hangat-hangat tai dinosaurus". Ia tetap tidak
membangun smelter sesuai yang diperintahkan. Dan ketika ditagih, mereka kembali
membuka Kontrak Karya lama mereka dan berpegang pada pasal "Freeport akan
tunduk pada peraturan yang memudahkan dan menguntungkan mereka". Wat de pak.
Freeport mendadak menjadi
perusahaan politis, padahal negara mendudukkan mereka untuk bernegosiasi secara
jantan layaknya dua perusahaan besar yang bertarung.
Bahkan, informasi 300 karyawan
yang dipecat adalah bagian strategi perang Freeport untuk membuat pemerintah
Indonesia menjadi "tersangka", padahal 300 karyawan itu dirumahkan
sementara karena Freeport tidak mampu memaksimalkan ekspornya. Perang diatas
meja dilanjutkan dengan perang melalui media.