AHY-Anies Baswedan |
Seandainya kita rasional sedikit,
sulit sekali mengalahkan Ahok dalam sisi program. Banyak program mendasar yang
sudah dilakukan Ahok yang biasanya jadi jualan kampanye. Mulai penanganan
banjir, sampai dibangunnya ruang-ruang publik.
Biasanya pada musim begini,
mendadak kandidat kepala daerah perduli rakyat miskin. Bahkan ada yang sampe
tidur-tidur di rumah warga miskin, demi menunjukkan dia perduli meski kalau sudah
terpilih, dia juga yang pertama kali lupa. Yang penting, suara sudah dia
dapat.
Sekarang mau tidur dimana?
Kalijodo dah cantik. Kampung pulo dah bersih. Yang kemaren bergaul dengan
sampah dan malaria di pinggir kali, sudah nyaman di rusun dengan kasur, kompor
bahkan kulkas baru.
Akhirnya lawan Ahok buat program
mengada-ada, sekedar supaya beda. Putar-putar otak akhirnya keluar juga ide,
yang malah gak masuk akal.
Mas Agus dengan menggebu-gebu
bicara tentang tidak boleh menggusur warga miskin. Yang boleh hanya
"geser". Diserang bagaimana konsep geser, dia menjawab dengan
"mengapung". Ditanya lagi bagaimana cara mengapung, dia jawab itu
hoax. Lha?? Ide-ide sendiri dibilang hoax sendiri.
Akhirnya doi dapat jawaban yang
menurutnya smart. "Oke, kita buat vertikal housing", artinya rumah
akan dibangun ke atas. Trus kalo gitu, apa bedanya dengan rusun yang dibangun
Ahok?? Bingung jawabnya, akhirnya
menyerang karakter Ahok.
Mas Anies juga bingung buat
program unggulan untuk tandingan. Lalu ia buat konsep membangun rumah murah
untuk rakyat dengan dp 0 persen.
Akhirnya konsepnya diserang
dimana-mana. Dimana emang lahan murah di Jakarta? Trus bagaimana skema punya
rumah dengan gak pake dp??
Bingung jawabnya, ia langsung
koreksi bahwa pengganti dp adalah mencicil dp selama 6 bulan. Lah, itu kan dp
juga?? Mutar muter ngalor ngidul, akhirnya kembali serang karakter Ahok.
Dari sini kita bisa melihat bahwa
lawan Ahok sangat kebingungan membangun program tandingan untuk melawan program
Ahok yang sudah berjalan. Akhirnya mengada-ada dan tidak realistis.
Sedih memang ketika seorang mengajukan
diri menjadi kepala daerah tapi ia sendiri tidak siap dengan visi dan misinya.
Yang penting maju dulu, yang lain dipikir belakangan. Hanya mengandalkan
ketenaran dan uang -tanpa ideologi yang kuat- membuat orang menjadi blunder.
Mereka maju dengan berdasarkan 3
kelemahan Ahok. Satu, kasar. Dua, Kristen. Dan tiga, ras Cina. Itu saja tanpa
berbekal, "kalau dia jadi pemimpin, trus daerah ini mau diapain??"
Dan itulah fenomena yang banyak
terjadi di berbagai daerah dalam pilkada. Kekuatan uang menjadi hal yang utama.
Selain uang, kadang harus menggandeng wajah terkenal supaya mudah diingat
warga. Akhirnya jadi mirip seperti Jawa barat, yang wagubnya cukup terkenal
tapi hanya bisa nangis aja.
Standar pemimpin daerah yang
dibangun Ahok memang tinggi. Standar yang juga dibangun oleh Jokowi dan Risma.
Pemimpin seperti mereka ini
mengandalkan program sebagai ideologi utamanya. Mereka siap beradu isi kepala.
Mereka paham, serangan terhadap personal lawan tidaklah elok, karena ini bukan
hanya sekedar bagaimana menjabat tapi bagaimana memfungsikan jabatan dengan
benar. Tapi standar "janji
manis" dari banyak calon kepala daerah juga semakin tinggi.
Tahun ini saja, janji manis sudah
bisa mencapai ketinggian khayalan dengan rumah yang murah supaya warga mabuk
kepayang dan rumah mengapung sebagai solusi gusur. Mungkin 5 tahun lagi janji
manis standarnya sudah lebih tinggi, misalnya dengan menjadikan alien dari
planet Mars sebagai solusi dari rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia.
Satu yang penting, alien itu
haruslah beragama Islam, kalau bisa dibaiat dulu. Ah, jadi calon pemimpin itu harus
realistis. Jangan mengajari ikan terbang, karena ikan takdirnya berenang. Kalau
gak bisa terbang juga, ikan harus berenang dengan model vertikal dan horizontal,
lalu mengapung.
Yang penting semuanya harus Oke
Oce.