Wiranto dan Tokoh GNPF MUI |
Kunjungan Habib Rizieq dan
Bachtiar Nasir ke Wiranto memang menarik. Banyak yang mengartikan sinis
kunjungan itu sebagai langkah Wiranto dalam mencari muka kepada pentolan
gerakan aksi GNPF MUI. Apalagi banyak informasi yang beredar jika Wiranto
termasuk yang membentuk FPI dulu sebagai gerakan pam swakarsa di tahun 1998.
Saya malah melihat kunjungan itu
sebagai langkah positif, terutama pada posisi Wiranto sebagai Menkopolhukam
yang notabene adalah perwakilan pemerintah.
Salah satu pemikiran strategis
Sun Tzu dalam "the art of war" adalah dekatlah pada sekutumu, tapi
lebih dekatlah pada musuhmu. Merapat kepada mereka yang berlawanan sebenarnya
adalah senjata yang efektif. Dengan semakin dekat, maka musuh akan semakin
sulit bergerak.
Konsep perang Jokowi memang
menghindarkan keributan yang tidak perlu. Jokowi membutuhkan situasi yang
tenang supaya investor percaya kalau Indonesia tetap kondusif. Kita bisa
melihat track record bagaimana Jokowi meredam keributan saat
"pertarungan" KPK vs Polri jilid 2. Jokowi tidak suka menggunakan
kekerasan sebagai cara menghantam. Ia model silent killer, membunuh dalam
senyap.
Dan para assasin selalu mendekatkan
diri pada targetnya, sedekat-dekatnya -bahkan jila memungkinkan merangkulnya-
untuk kemudian menghabisinya tanpa terlihat..
Itulah yang dilakukan Wiranto
sekarang sebagai panglima perang. Ia merangkul para pentolan yang sebenarnya
sudah terbaca bahwa mereka hanyalah bayaran dari sekelompok oknum elit politik
yang bernafsu menguasai kembali negeri ini.
Dengan sejarah mereka adalah
teman lama, mudah bagi Wiranto mendekatinya. Ia mengundang mereka ke rumahnya
untuk minum kopi bersama.
Tidak ada yang tahu apa
pembicaraan di dalamnya, tapi hasilnya terlihat jelas. FPI terpecah dalam
dukungan untuk melakukan long march dalam aksi 112.
Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI, Abuya
KH. Abdul Majid mengatakan bahwa FPI tidak akan ikut dalam longmarch hanya
mengadakan kegiatan zikir saja di Istiqlal. Tapi Ketua Umum Front Pembela Islam
(FPI), KH. Ahmad Shobri Lubis ngotot tetap akan ikut aksi yang diprakarsai oleh
kelompok Forum Umat Indonesia atau FUI.
Sesuai kesepakatan bersama, bahwa
tanggal 11 Februari adalah minggu tenang dan tidak boleh ada kegiatan massa di
jalan, maka niat demo besar berhasil di lokalisir hanya di Masjid Istiqlal
saja.
Dengan terpecahnya gerombolan, maka akan mudah bagi kepolisian untuk
mengidentifikasi siapa orang-orang yang masih ingin membuat keributan.
Ini strategi yang jenius dan
menarik untuk disimak. Cara perang yang elegan. Rangkul dan lokalisir potensi
masalah.
Dengan merangkul para
"komandan lapangan" aksi, maka ini juga akan membingungkan para
penyandang dana di belakang layar dan mulai meragukan sebagian koalisinya,
kepada siapa mereka sekarang berpihak..
Dan jangan lupa, panah-panah
hukum tetap mengarah ke Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir. Panah itu tidak akan
berhenti meskipun mereka merapat ke Wiranto yang mereka kenal sebagai
"sahabat lama".
Buat saya, FPI tidak perlu
dibubarkan. Karena jika mereka bubar dengan kekerasan, mereka akan membentuk
sel-sel baru yang malah akan lebih sulit terlihat. FPI cukup disusupi,
dikendalikan dan dirubah pemahamannya. FPI akan dikembalikan sesuai fungsinya
di awal, untuk ikut menjaga keamanan negara.
Saya kok jadi teringat dengan apa
yang pernah dilakukan pemerintah dengan Golkar. Partai yang dulu menyerang
pemerintah habis-habisan, mendadak menjadi koalisi yang sempurna. Jadi rindu
Tantowi Yahya dan Nurul Arifin yang hilang bagai ditelan bumi, padahal dulu
suara mereka keras sekali.
Permainan catur yang cantik
sekali. Bidak-bidak terbuka dan tersusun rapi, sekarang menunggu langkah lawan
yang panik melindungi dirinya dengan cuitan-cuitan yang mencari simpati.