-->

Selasa, 15 November 2016

Surat dari Seorang Teman

Agama
Teman
Tiba-tiba teman-temanku berubah...
Mereka dulu teman mainku, kenangan masa kecilku. Puluhan tahun kami tidak bertemu, sampai akhirnya media sosial mempertemukan kami kembali.

Kami saling menyapa, saling berteriak penuh kejutan lucu melihat tubuh kurus kering dan korengan dulu, sekarang tambun dan ada yang sudah beruban. Yang dulu cantik dan menjadi rebutan, sekarang sudah melebar dan penuh kerutan. Kami menggali kembali memori-memori lama yang lucu dan indah.

Kami bertemu kemudian dan mulailah reuni-reuni panjang itu. Aduh senangnya, serasa terlempar kembali ke masa lalu..

Media komunikasi berkembang. Kami membuat grup di whatsapp dan saling bercanda hampir tiap malam. Kadang cekikikan waktu ada yang menyentil kembali kegilaan masa lalu, saat hidup tidak punya beban.

Hingga satu waktu...
Awalnya seorang teman men-copas pesan-pesan agama yang panjang. Kami menerimanya sebagai pesan baik, meskipun agama kami tidak sama. Kami pun memberinya jempol sebagai tanda menghargai apa yang dia lakukan.

T�pi yang terjadi kemudian adalah sebuah kesalahan. Ia mendominasi percakapan, kembali mencopas pesan-pesan panjang tentang agama dan bahasanya selalu menasehati dengan mengutip ayat-ayat bertuliskan arab yang sungguh kami tidak mengerti.

Dan muncullah teman-teman lama yang selama ini diam, ikut menyemangatinya dan berseru dengan bahasa-bahasa arab yang membuat kami serasa bukan di negeri sendiri. Bahkan ketika ada yang sedang sakit atau ulangtahun, merekapun menyapanya pula dengan bahasa arab yang membuat kami semakin tidak mengerti.

Mereka seakan tidak mau tahu bahwa tidak semua beragama sama..
Mendekati pilgub DKI, mereka semakin ganas. Tulisan kafir semakin merajalela. Meskipun -kami tahu- bahwa itu ditujukan kepada seorang Gubernur, tapi apakah mereka tidak punya empati sedikitpun bahwa kami beragama sama dengan orang yang mereka katakan kafir itu?.

Satu persatu temanku terbaik menghilang suaranya dari grup itu.. Kami yang dulu sering cekikikan, terdiam dan kulihat mereka meninggalkan grup. Grup menjadi dominasi satu agama tertentu.

Perlahan grup menjadi gersang, seperti padang pasir yang sulit didekati tanaman. Aku sendirian bertahan dalam diam...

Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan grup. Sudah tidak layak untuk kupertahankan. Bahkan aku sudah tidak lagi mengenali mereka yang dulu kukenal.

Agama sudah merenggut kenangan-kenangan manis itu. Keimanan sekarang harus ditampakkan di ruang terbuka, bukan lagi menjadi hubungan pribadi dengan Tuhan.

Entah kenapa aku tidak merasa kehilangan mereka. Mungkin memang waktu yang merubah segalanya. Biarlah kusimpan memori-memori lama dalam sudut gelapku. Kubungkus rapat dan kusimpan dalam gudang otakku. Aku sendiri tidak tahu, kapan akan kubuka lagi pintu gudang itu...

Ah, mereka pasti akan bilang bahwa aku lebay. Tidak mengapa, setidaknya aku bisa mencurahkan isi hatiku...
Selamat tinggal, teman masa kecilku. Menjadi dewasa ternyata bisa sangat menakutkan...

Previous
Next Post »