AM Hendropriyono dan Denny Siregar |
Saya melangkah masuk ke ruangan
besar itu. Ditengah ruangan ada sofa besar
dan nyaman, tentu mahal harganya. Yang menarik, disudut ada meja makan besar
khas Teppanyaki, makanan ala Jepang yang dimasak diatas lempengan besi.
Saya duduk terdiam, beberapa
orang mondar-mandir di sekeliling ruangan. Rasanya seperti berada di kantor
Yakuza, mafia besar di Jepang.
Saya melihat ada pintu dari
lapisan kayu. Ada ruangan lain selain ruangan ini. Ruangan sang Don. Boss dari
segala boss. Entah kenapa situasi ini membuat saya sedikit merinding. Mungkin
karena besarnya ruangan atau karena besarnya nama orang yang akan kutemui.
Ia adalah Jenderal besar. Namanya
terangkat ketika ia memberantas kelompok Islam garis keras dalam peristiwa
Talangsari. Ia juga disebut-sebut terlibat dalam kasus Munir. "Kalau ada orang
mati, nama gua pasti disebut-sebut.." gerutunya kocak.
Pintu dengan lapisan kayu itu
terbuka otomatis. Dan saya diminta masuk ke dalam. Ruangan yang ternyata lebih
luas dari sebelumnya dan berkarpet tebal. Rasanya pengen tiduran di empuknya
karpet tapi entar dibilang norak.
Disana, didepan saya, sang
legenda menyambut dengan hangat. "Oh, ini toh Denny Siregar...". Dia,
AM Hendropriyono, bapak intelijen Indonesia. Mendengar namanya saja waktu itu bergetar.
Sekarang ia menyalamiku dengan penuh persahabatan. Ia tampak sehat dalam
usianya yang ke 71 ini. Bahkan bisa dibilang ia lebih muda dari usianya.
Kami pun duduk dan kubiarkan ia
bercerita. Lebih baik menjadi pendengar yang setia, karena ia adalah buku
cerita yang tidak ada habisnya jika dibaca.
Ia adalah sejarah Indonesia.
Rasanya tidak akan pernah cukup waktu duduk disampingnya selama beberapa hari
dan mendengarkan semua perjalanan hidupnya dan petualangan karirnya.
Runtuh semua image seram yang melingkupinya.
Pak Hendro ternyata adalah orang yang lugas, tidak pernah basa basi dalam
berucap. Dan itu menjadikan diskusi berjalan dengan kocak. Saya tertawa
terbahak-bahak mendengar ia menyindir, menohok sekaligus menampar perilaku
tokoh-tokoh negeri ini. Saya seperti melihat diri saya sendiri ketika
berbicara.
Dan -Subhanallah- ia ternyata
membaca analisa-analisa saya tentang situasi dalam negeri terutama tentang
bagaimana kelompok Islam garis keras ingin menguasai negeri ini.
Haru, bangga sekaligus takut. Jika
sekelas beliau saja setuju dengan pandangan liar saya dalam memetakan bagaimana
situasi Indonesia ke depan, tentu orang yang tidak setuju dengan saya dan
sekelas beliau juga seperti itu. Posisi saya langsung tampak rapuh tanpa
perlindungan.
Beliau beberapa kali mengutarakan
keinginannya untuk mundur dari dunia politik. Tapi orang-orang terus berdatangan
meminta ia untuk terus berkarya. Bahkan Presiden Jokowi pun memintanya utk
menjadi penasihat. Pas memang, beliau ini ahli strategi yang diakui
Internasional.
Sekarang ini kegiatannya
mengantarkan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia PKPI supaya mandiri dan ia
berencana pensiun seluruhnya. "Mending dagang aja.." cetusnya sambil
minum secangkir teh hangat. Saya seperti biasa minum kopi.
Akhirnya, selesai sudah. Beliau
perlu istirahat. Sayapun pamit pulang. Kami bertukar buku. Saya membawa pulang
bukunya "Operasi Sandi Yudha - menumpas gerakan Klandestin" dan ia
membawa buku saya "Tuhan dalam secangkir kopi".
Saya tidak pernah meminta ijin
kepada siapapun untuk menuliskan perjalanan saya ketemu seseorang. Hanya kali
ini berbeda, saya menghormati nama besar beliau di dunia intelijen, dunia yang
tidak terlihat, bolehkah saya menulis kisah pertemuan saya dengan dirinya ? Dan
beliau mengijinkan dengan senang hati..
Dalam perjalanan pulang, saya
duduk dan melamun. Saya baru merasakan betapa sebuah tulisan mampu menembus
sekat-sekat apapun juga.
Dan saya berada disana sekarang
ini, berada di tengah titik pusaran politik, berpetualang, bertemu orang-orang
besar dan menjadi saksi sejarah baik yang terbuka maupun yang tidak pernah
dibuka.