Taman Kalijodo |
Dulu tahun 80an saya tinggal di
daerah Kebon Jeruk Jakarta barat. Masa kecil itu daerah Jakarta barat masih
sangat asri. Tanah-tanah luas berwarna merah dan subur dimiliki oleh warga
betawi yang menanam jeruk dan tanaman hias lainnya.
Jalan kaki disana pulang sekolah
adalah kenikmatan. Udaranya masih bersih dan penduduknya masih asli. Acara adat
dan kawinan dengan gaya betawi masih sering terlihat. Naik sepeda bersama
teman-teman ke daerah puri kembangan yang masih hijau kanan kirii.
Ah, indahnya masa itu jadi pengen
kembali. Tahun 2000-an saya kembali dan kaget melihat surga saya disana hilang.
Diganti apartemen-apartemen menjulang, ruko-ruko sepanjang jalan, mall yang
luasnya gila-gilaan. Jalanan menjadi padat dan berdebu.
Terik matahari langsung
menghunjam tanpa ada rindang pohon yang menahan. Jakarta barat menjadi neraka
baru yang sama sekali tidak membuat hati ini rindu. Kalau hujan, banjir yang
sulit sekali surut.

Tidak ada niat untuk membagi tema
berbeda antar Jakarta. Misal. Jakarta utara sebagai pusat industri. Jakarta
Timur sebagai pusat rekreasi dan sebagainya. Semua dijadikan sama, dijual
karena harga tanah semakin lama semakin tinggi.
Apalagi kalau berurusan dengan
pembangunan mall dan apartemen, ijin begitu mudah karena uang yang disebarkan
berlimpah.
Pada saat diajak teman -baru-baru
ini- untuk melihat Taman Kalijodo, saya tersenyum. Ah, beruntungnya anak-anak
itu masih merasakan kegembiraan seperti saya dulu meski ruang bermain mereka
lebih kecil.

Saya tidak bisa membayangkan,
jadi apa mereka ketika Kalijodo masih menjadi pusat segala maksiat. Melihat
gadis-gadis jualan diri dengan pakaian minim dan gincu murahan. Lelaki-lelaki
kekar bertato mabuk dan memalak orang lewat di pinggir jalan. Belum kerusuhan
ketika para geng berebut wilayah untuk menyalurkan narkoba.
Jakarta jelas tidak akan bisa
kembali dengan wajah seperti masa kecil saya dahulu. Tapi setidaknya Jakarta
kini berusaha untuk lebih ramah dengan segala kerusakan akibat perkosaan yang
dulu pernah terjadi.
Semua memang berawal dari niat.
Niat menghasilkan program yang strategis. Untuk apa kemegahan kota jika
warganya tidak bisa menikmati?