Ahok-Dhjarot |
Perjalanan selama proses kampanye, saya banyak menemukan aura kepercayaan diri yang sangat tinggi di barisan relawan. Saya selalu mengingatkan, "Optimis boleh, tapi kita harus juga realistis.."
Saya kadang tidak sampai hati
ketika harus mengingatkan, "Pilgub DKI ini dua putaran.." Suara saya
tenggelam di riak euforia dan kebanggaan akan prestasi Ahok yang diangkat
sebagai jualan.
Saya jadi teringat apa yang
Jokowi katakan ketika ia menjadi Capres saat pilpres 2014. Ketika itu euforia
terjadi di kalangan pendukungnya. Ia mengatakan. "Jangan memandang remeh
lawan. Lawan kita itu tangguh dan kuat secara finansial.."
Tidak memandang remeh lawan bukan
berarti takut kalah, tetapi memunculkan kewaspadaan yang tinggi. Dengan
kewaspadaan yang tinggi, kita bisa memperkirakan "pada titik mana lawan
akan memainkan kecurangan.."
Dan dari banyaknya info yang
masuk, ternyata lawan memainkan peranan disaat akhir melalui surat suara.
Banyak yang tidak terdaftar dan akhirnya ditolak untuk menggunakan hak
suaranya.
Alasan "surat suara sudah
habis, hanya disediakan 20 sebagai cadangan.." adalah gerakan massif yang
terjadi dimana-mana. Video-video amatir menunjukkan keributan yang terjadi di
TPS karena kehilangan suara.
Hal seperti ini seharusnya sudah
bisa diantisipasi sejak awal. Para relawan yang terbentuk di setiap RT/RW sejak
awal sudah bisa mengawal para pendukung Ahok dan memastikan mereka punya hak
suara dan tidak terlambat sampai TPS.
Edukasi-edukasi teknis perlu
terus disampaikan daripada sekedar goyang-goyang badan di rumah Lembang. Selain
edukasi teknis ke warga, gerakan di RT/RW perlu terus di kawal. Persempit celah
para panitia melakukan kecurangan.
Dan yang terakhir, jangan pelit
untuk membayar para relawan-relawan yang bertugas kesana kemari, masuk ke
kampung-kampung untuk melakukan pengawalan dari pendaftaran sampai penghitungan
suara. Mereka bukan orang yang berlebih, hargai waktu mereka dengan membayar
keringat mereka. Meski menamakan diri relawan, tapi anak istri mereka juga
butuh makan.
Karena itu saya tidak begitu
bangga ketika Ahok mengembalikan dana kampanye sekian miliar rupiah. Saya lebih
bangga ketika dana yang berlebih itu dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan
dasar para relawan sehingga mereka bisa bekerja tanpa ada kendala keuangan.
"Perjuangan juga butuh
logistik", begitu kata kawan saya yang mendukung Ahok dan bersedia
berpanas-panas di jalan yang terpaksa merogoh kantung sendiri sekedar untuk
makan.
Putaran kedua adalah pertarungan
yang lebih berat. Selisih yang tidak begitu besar membuat ada kekhawatiran.
Kekhawatiran itu bagus, dengan
begitu menjadi lebih waspada. Lebih baik merasa akan kalah sehingga bertarung
lebih sengit, daripada merasa menang sehingga minim persiapan.
Ada waktu 2 bulan untuk
mempersiapkan diri. Tanggal 19 April, kita akan bertarung di TPS lagi. Semoga
Ahok juga tetap bisa menjaga diri, supaya tidak diserang sisi terlemahnya lagi.
Mau secangkir kopi? Seruput dulu.