Kata-kata "Kami umat
Islam.." selalu mengganggu saya sejak dulu. Saya tidak tahu
"kami" itu siapa, karena saya sendiri yang beragama Islam tidak
merasa sebagai "kami"nya mereka itu. Saya bukan Islam unyu-unyu yang
selalu baper dan tegang di wajah. Saya tegangnya di bawah.
Tidak mudah mengambil posisi
berbeda dari mereka yang selalu mengklaim "kami umat Islam.." itu.
Karena saya harus melalui proses intimidasi terlebih dulu.
Awalnya saya memang marah ketika
terus di intimidasi, tapi sudah sejak lama saya anggap mereka itu sambel
terasi. Tinggal tambah nasi putih dan ikan asin, semriwinggg.
Ada lagi selain "Kami umat
Islam..." adalah "Kami Ahlusunnah Wal Jamaah..". Maksudnya Islam
bermazhab Sunni, mazhab terbesar di Indonesia.
Tapi sunni pun terbagi, meski
tetap dalam satu koridor mazhab. Ada yang model NU sering tahlilan dan
maulidan, ada yang model Muhammadiyah yang ziarah kubur aja tidak berkenan dan
ada model Wahabi yang keras, puritan dan jenggotan.
Model wahabi inilah yang selalu
menjadi masalah global. ISIS, Boko haram, Al Qaeda semua bermodel Wahabi. Dan
mereka sesudah mengklaim "Kamu ahlusunnah wal jamaah.." juga
mengklaim, "Kami umat Islam..".
Klaim dulu, otak belakangan...
Jadi kalau ada komen yang
berkata, "Kami umat Islam bla bla bla.." kalian bisa tau mereka Islam
model apa. Karena Islam adalah petunjuk, dan petunjuk untuk dipelajari dan
diamalkan, bukan dipamerkan..
Sekarang beda lagi, tergantung
situasi dan kepentingan. Mereka mendadak berkata, "Kami umat NU..."
Mungkin ke depannya mereka akan
mengklaim, "Kami Tuhan..". Bisa saja terjadi, wong perbuatan mereka
sudah bagian dari sifat ketuhanan, tinggal pengucapannya saja yang belum..
Ah, mending saya belajar dari
secangkir kopi yang tidak pernah mengklaim, "Kami kopi..". Karena kenikmatan dan keanggunannya
tidak membutuhkan ukuran, tapi orang yang memberikannya penghargaan. "Dia
secangkir kopi...". Seruput, brader..