-->

Jumat, 16 Desember 2016

Orang-orang Ajaib di Negeri Kita

Terorisme
Densus 88
Akhirnya ada reaksi terhadap situasi yang sedang terjadi. Sesudah gelisah beberapa lama, saya merasa lega melihat ada reaksi terhadap aksi-aksi "pembunuhan karakter" terhadap sosok maupun institusi.
 
Dalam beberapa tulisan "Indonesia menuju Suriah", saya sudah memberikan analisa terhadap pola-pola yang digerakkan supaya terjadi "hilangnya kepercayaan" kepada simbol-simbol yang selama ini dipercayai masyarakat.
 
Simbol yang pertama diserang adalah ulama.
Salah satu pola yang mengerikan dari mereka adalah membangun dan meninggikan sosok ulama versi mereka. Ulama2 muda yang bahkan tidak paham nilai2 agama, hanya berbekal mampu bahasa arab dan membaca Alquran kemudian menjualnya demi kehidupan dunia.
 
Ketika ada seorang ustad menyatakan dalam video nangisnya, "Sesalah-salahnya ulama adalah sebenar-benarnya kita.." spontan saya bereaksi membuat parodi video "jangan ditiru..". Meskipun bagi sebagin besar orang menganggap itu video lucu2an, sebenarnya itu bagian dari perlawanan.
 
Mereka membangun konsep ulama itu sebagai "manusia suci" yang tidak bisa salah. Ini sangat bahaya, karena "manusia suci" itu ditujukan kepada ulama versi mereka.
 
Dan benar saja, ketika ulama yang benar seperti Buya Syafii Maarif bereaksi, ia langsung diintimidasi dan dibunuh karakternya. Begitu juga Gus Mus dan Gus Maemun dari NU dicaci maki. Ini mengikuti jejak penghancuran karakter Quraish Shihab dan KH Said Agil Siradj yang dituding Syiah.
 
Beruntungnya, NU langsung bereaksi melindungi ulama2 mereka dengan menjemput para pencaci dan menyuruhnya meminta maaf. Ini reaksi keras NU sekaligus menyelamatkan simbol mereka supaya tidak kehilangan kepercayaan di kalangan umatnya.
 
Sayangnya, Muhammadiyah malah bereaksi terbalik ketika Buya Syafii Maarif dicaci. Kemana Muhammadiyah ? Apakah mereka sudah tersusupi seluruhnya ? Ini harus jadi PR besar bagi generasi muda Muhammadiyah untuk menyelamatkan organisasi besarnya..
Simbol kedua yang diserang adalah Kepolisian..
 
Sejak peristiwa bom di jalan Thamrin, terjadi pembunuhan karakter terhadap institusi ini. Polisi diejek tidak bereaksi maksimal.
 
Saya pun bereaksi melawan dengan membuat tulisan "Surat cinta untuk ISIS" yang berisi bully-an kepada mereka dan di share puluhan ribu orang. Saya paham, bahwa bahaya sekali ketika institusi ini dianggap lemah. Orang akan semakin berani melawan - seperti contoh penusukan polisi di Tangerang dan pencakaran polisi oleh seorang wanita krn ditilang.
 
Beruntung Jokowi mengambil langkah yang brilian dengan mengangkat Tito Karnavian sebagai Kapolri, melompati beberapa generasi diatasnya.
 
Tito adalah jawaban dari semua permasalahan. Dengan latar belakang komandan pasukan anti teror, Tito sangat paham pola-pola pergerakan radikalis dan teroris. Selamatnya kita dari goyangan berpotensi kerusuhan besar di aksi massal 411 dan 212, karena pak Tito sebagai Komandan lapangan.
 
Pak Tito adalah musuh besar kaum radikalis dan teroris. Penggantian beberapa unsur petinggi di Kepolisian salah satunya adalah bagian dari menghadapi penyusupan teroris ke negara kita yang sekarang sudah menjadi ancaman global. Bom Majalengka, bom Bekasi adalah bom2 yang jika meledak di tengah masyarakat bisa membuat negara ini mengalami terpuruknya kembali ekonomi.
 
Karena itulah beliau terus di fitnah, bahkan dibenturkan dengan Panglima TNI. Buat kaum daster berkibar, Kapolri dianggap sebagai musuh bersama sdgkan Panglima adalah calon pemimpin mereka..
 
Salah satu bagian dari "perang proxy" mereka adalah dengan menyatakan secara massif melalui media sosial bahwa penemuan bom Bekasi adalah pengalihan isu. Pola pelemahan yang sama seperti kasus bom di jalan Thamrin.
Hanya sekarang Kapolrinya Tito, kawan...
 
Reaksinya cepat dengan langsung memposisikan Polri sebagai institusi yang kuat. Pemanggilan Eko Patrio pelawak sekaligus anggota DPR yang dikabarkan mengatakan bahwa bom Bekasi adalah pengalihan isu langsung ditanggapi serius. Sama seperti seriusnya NU menangani para pencaci ulama mereka.
 
Reaksi-reaksi ini yang membuat saya lega..
Muncul gerakan perlawanan terhadap simbol2 yang sedang diserang, menunjukkan bahwa di negeri ini masih banyak orang-orang ajaib di sekitar kita. Negeri yang rentan dipecah karena terdiri dari banyaknya unsur suku, ras dan agama tapi tetap berdiri dengan gagah karena masih ada pejuang-pejuangnya...
 
Tinggal satu yang saya tunggu..
Ketika simbol kebhinnekaan kita terus diserang, saya berharap ada reaksi dari tokoh-tokoh plural lintas profesi dan agama membuat sebuah deklarasi bersama. Reaksi ini sangat penting supaya kita terus rapat dan tidak mudah dipecah...
 
Ah, Indonesia...
Melihat situasimu beberapa waktu ini sungguh seperti minum kopi yang sangat pahit. Untungnya ada yang menambahkan sedikit gula sehingga lidah bisa merasakan kenikmatan yang sebenarnya..
 
Masih panjang perjuangan kita, kawan.. tapi setidaknya seruput kopi dululah sambil tertawa bersama dan saling mencintai antara sesama.. Mari angkat cangkirnya....

Previous
Next Post »